5.03.2013

Parlemen Indonesia : Dulu, Kini, dan Nanti




Parlemen dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga kontrol eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan telah melalui berbagai masa dan bentuk dalam lukisan sejarah di negeri ini.  Dalam bentuk sederhana masa lalu parlemen indonesia bisa di bagi dalam empat periode besar.

Pertama, 1945-1955, parlemen merangkap sekaligus pemerintah. Dalam sepuluh tahun itu, Indonesia menghadapi beragam persoalan,
termasuk bentuk negara dan pemerintahan. Pada masa ini, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia.   Kemudian sebagai konsekuensi hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), diadakan perubahan bentuk negara kesatuan RI menjadi negara serikat. Berdasarkan Konstitusi RIS yang menganut sistem pemerintahan parlementer, badan legislatif RIS dibagi menjadi dua kamar, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.  DPR-RIS dan Senat bersama-sama dengan pemerintah melaksanakan pembuatan perundang-undangan. DPR-RIS juga berwenang mengontrol pemerintah, dengan catatan presiden tidak dapat diganggu gugat, tetapi para menteri bertanggung jawab kepada DPR atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri.  Secara umum saja, presiden dan wakil presiden sebagai kepala negara, sementara kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri dan menteri-menterinya. Fungsi keparlemenan banyak dilaksanakan di dalam pemerintahan. Parlemen yang sekaligus pemerintah.

Kedua, 1955-1959 dan 2004-2011, parlemen yang benar-benar murni hasil pemilu. Pada 1955-1959, sistem yang dipakai masih parlementer, di mana para menteri berasal dari partai politik atau profesional, dengan dipimpin perdana menteri. Sedangkan pada 2004-2011, parlemen sama sekali bukan pelaksana pemerintahan, melainkan presiden dan menteri-menteri yang ditunjuk oleh presiden terpilih.  Parlemen periode ini diharapkan benar-benar menjadi pengawal pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya.  

Ketiga, 1959-1971, parlemen yang tanpa pemilu. Selama 12 tahun, dewan perwakilan rakyat gotong royong (DPRGR) diisi kalangan yang hanya mendapat persetujuan presiden, baik Sukarno maupun Soeharto. Dalam masa ini, sistem yang digunakan adalah presidensial. Inilah fase yang begitu berbahaya bagi Indonesia, ketika keputusan-keputusan politik dikendalikan dengan kekuasaan penuh seorang presiden. Indonesia mengalami tekanan, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Karena fungsi kontrol yang seharusnya ditunaikan oleh legislatif sudah disetir oleh penguasa saat itu.  DPR sebagai lembaga legislatif yang diharapkan mampu menjalankan fungsi penyeimbang (checks and balances) dalam prakteknya hanya sebagai pelengkap dan penghias struktur ketatanegaraan yang ditujukan hanya untuk memperkuat posisi presiden

Keempat, 1971-2004, parlemen hasil pemilu. Sekarang parlemen memang dihasilkan oleh pemilu, tetapi melewati fase pengendalian politik oleh kepala negara. Pemilu 1971 relatif bebas dengan kontestan 10 peserta pemilu, lalu pemilu 1977 sampai 1997 dengan tiga kontestan pemilu, sementara pemilu 1999 melibatkan 48 partai politik. Sistem yang dipakai adalah presidensial. Pemilu 2004 hanya diikuti separuhnya yaitu 24 partai, dan pemilu 2009 34 partai ditambah 6 partai lokal dari aceh. 

Dari studi kesejarahan, rakyat bisa benar-benar mewakilkan suaranya secara murni di DPR RI hasil pemilu periode 1955-1959 dan 2004-2011. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang berfungsi sebagai parlemen, bukanlah hasil pemilu. Jadi, sepanjang 1945-1955, parlemen hanyalah perwakilan dari "partai-partai politik" yang dihasilkan tanpa pemilu. Sementara itu, sejak 1959 sampai 2004, terdapat unsur yang tidak dipilih secara langsung, melainkan diangkat atau ditunjuk. Kita tahu bahwa Fraksi TNI/Polri yang berada di DPR/DPRD baru selesai melaksanakan tugas pada 2004. Jadi, kalau diakumulasikan, DPR RI yang murni hasil pemilu baru bertugas selama 11 tahun (1955-1959 dan 2004-2011). Di luar itu, dalam sistem parlementer, parlemen juga pemerintah, menjadi perdana menteri dan menteri-menteri di kabinet tanpa pemilu (1945-1955).  Dan ketika , ketika kekuasaan DPR RI dianggap begitu kuat masih agak ternoda dengan adanya wakil-wakil yang tidak dipilih secara langsung, yakni Fraksi TNI/Polri.
Mulai pemilu  tahun 2004, mulai dikenal secara resmi lembaga perwakilan rakyat baru yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPR merupakan representasi dari jumlah penduduk sedangkan DPD merupakan representasi dari wilayah. 

Idealnya, DPR dan DPD mampu bekerja bersama-sama dalam merumuskan sebuah UU. Namun karena amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945 masih belum sempurna,hubungan yang terjadi antara DPR dengan DPDpun menjadi rancu dan berjalan kurang baik. DPR memegang kekuasaan legislatif yang lebih besar dan DPD hanya sebagai badan yang memberi pertimbangan kepada DPR dalam soal-soal tertentu. Penguatan dalam system duakamar ini sangat mendesak untuk dilakukan.  

Parlemen sekarang masih terganjal dengan dengan berbagai isu yang sangat jauh dari kata kepentingan rakyat, mereka masih sibuk study tour, nonton film porno, pernyataan-pernyataan sensasional bak artis dan mengundang malaikat maut bagi rakyat, korupsi.  

Lalu bagaimanakah format parlemen di nanti?  Selama basis sistem politik kita di dalam konstitusi masih partai politik, keberadaan DPR RI mau tidak mau harus ditingkatkan kualitasnya. Untuk mewujudkan sebuah parlemen impian yang benar-benar bersuara atas nama rakyat masih dibutuhkan jalan yang panjang dan partisipasi dari berbagai pihak.  Peran partai politik sangat penting dalam membentuk elit-elit muda yang akan mewakili jutaan rakyat di Indonesia.  Nantinya rakyat benar-benar bisa memilih wakilnya secara langsung, langsung dalam artian bukan sekadar hanya mencontreng nama di TPS, langsung dimaksudkan rakyat bisa mengetahui betul kualitas dari wakilnya tersebut.  (Womack, 1998).  Rakyat perlu mengetahui betul siapa yang akan bersuara menjadi wakilnya di hadapan pemerintah karena disadari atau tidak tidak mungkin semua individu harus terlibat dalam setiap proses politik.  Impian setiap masyarakat Indonesia mereka mampunyai wakil-wakil yang bisa bersuara sesuai  dengan suara rakyat bukan bersuara atas kepentingan golongan tertentu. Rakyat juga butuh kerja nyata bukan sekadar bualan belaka.  Rakyat yang lapar bukan butuh pidato kenegaraan, tetapi mereka butuh makan.  Jika ini disebut utopi mari kita jadikan visi diwujudkan dalam satu aksi untuk Indonesia yang lebih baik.

No comments:

Post a Comment

back to top
back to bottom