5.07.2013

karena seorang pemimpin tidak harus berjuang sendirian


     Yudhistira berkata, “Aku sependapat. Aku adalah salah seorang dari raja-raja yang memerintah dengan baik, adil dan menempuh jalan hidup bahagia tanpa mengumbar nafsu. Karena bangga akan hasil yang telah dicapainya, seorang raja bernafsu untuk menjadi Maharajadiraja. Mengapa seorang raja tak bisa puas dan bahagia dengan kerajaannya? Sebaiknya aku lupakan saja nafsu untuk menjadi Maharajadiraja. Gelar itu tidak menarik bagiku. Saudara-saudaraku dan rakyatkulah yang menginginkannya. Engkau saja takut pada Jarasandha, apalagi kami. Apa yang bisa kita lakukan?”
     Bhima, yang membenci watak lemah dan cepat puas diri, berkata, “Ambisi adalah
kebajikan teragung seorang raja. Apa gunanya menjadi orang kuat kalau tidak tahu kekuatan sendiri? Aku tak tahan hidup dengan membatasi diriku, bermalas-malasan, dan cepat puas diri. Barang-siapa dapat menanggalkan kelemahan, dan secara tepat mempergunakan siasat kekuasaan, pasti akan mampu menaklukkan mereka yang lebih kuat sekalipun. Kekuatan yang disertai siasat pasti berhasil. Apa yang tidak dapat dilakukan dengan gabungan kekuatan ragaku, kebijaksanaan Krishna dan keterampilan Arjuna? Kita pasti dapat mengalahkan Jarasandha jika kita bertiga bersatu dan mengatur siasat tanpa ragu-ragu dan cemas.”
     Kemudian Krishna bercerita, Jarasandha harus dibasmi, karena ia memang menghendaki demikian. Dengan sewenang-wenang ia menawan 86 raja. Ia merencanakan mengorbankan 100 raja untuk upacara persembahyangan. Karena itu ia menangkap 14 raja lagi. Jika Bhima dan Arjuna setuju, aku akan menyertai mereka.Bersama-sama kita basmi Jarasandha dengan siasat, kemudian kita lepaskan semua raja yang dia tawan.”
     Yudhistira tidak senang mendengar nasihat itu.
     Ia berkata, “Itu berarti mengorbankan Bhima dan Arjuna, dua adik kesayanganku, hanya demi kepuasan memperoleh gelar Maharajadiraja. Aku tidak mau mengirim mereka untuk tugas berbahaya ini. Lebih baik kita lupakan saja rencana ini.”
     Arjuna berkata, “Apa gunanya kita terlahir sebagai keturunan kesatria perkasa jika tak pernah melakukan perbuatan jantan? Seorang kesatria takkan masyhur jika tak pernah menunjukkan kesaktiannya. Semangat adalah induk segala keberhasilan. Nasib baik akan berpihak pada kita jika kita lakukan tugas dan kewajiban dengan sung-guh-sungguh. Orang kuat bisa gagal jika segan menggunakan kesaktian dan senjata yang dimilikinya. Sebagian besar kegagalan terjadi karena seseorang mengabaikan kekuatannya sendiri. Kita tahu kekuatan kita dan kita tidak takut untuk menggunakannya sebaik mungkin.
     “Kenapa engkau merasa seolah-olah kita tidak mampu? Kelak jika kita sudah tua, akan tiba waktunya bagi kita untuk mengenakan jubah suci, masuk ke hutan pergi bertapa dan berpuasa untuk tujuan keagamaan. Sekarang kita masih muda. Kita harus mengisi hidup dengan tinda-kan-tindakan perwira sesuai dengan tradisi keturunan kita.”
     Krishna senang mendengar kata-kata Arjuna.
    Ia menanggapi, “Apa lagi yang harus dikatakan Arjuna, putra Dewi Kunti dan keturunan wangsa Bharata? Kematian akan tiba bagi setiap orang; tak peduli dia pahlawan atau pengecut. Tetapi kewajiban agung para kesatria adalah mengabdi pada bangsa dan keyakinannya serta menak-lukkan musuh dalam perang demi memperjuangkan kebenaran.”
    Akhirnya Yudhistira bisa menerima pendapat bahwa melenyapkan Jarasandha merupakan kewajiban mereka sebagai kesatria. Setelah tercapai kata sepakat, Krishna berkata, “Hidimba, Hamsa, Kangsa dan sekutu lain Jarasandha sudah mati. Sekarang inilah saat terbaik untuk menggempur dia. Kita tak perlu bertempur habis-habisan bersama para prajurit untuk menaklukkan dia. Kita tan-tang dia untuk berperang tanding, dengan atau tanpa senjata.”

No comments:

Post a Comment

back to top
back to bottom