6.09.2015

Mencicip Gurih Manis Ketan Ledre Laweyan, Panganan Khas Raja Surakarta


ditulis oleh: Imam Saputro

Kota Solo sudah “tercipta” sejak jaman Kesultanan Mataram memindahkan kedudukan raja dari Kartasura ke Desa Sala, 17 Februari 1745. Ratusan tahun Solo tumbuh dan berkembang. Rentang sejarah yang panjang membuat Solo kaya akan tradisi, budaya maupun peninggalan-peninggalan masa lalu. Di Laweyan, di gang-gang sempit yang terbentuk dari tembok-tembok tinggi sejak zaman Kesultanan Pajang, menjadi saksi betapa dahulunya kawasan ini merupakan tempat tinggal para juragan batik dengan kekayaan yang harus dilindungi tembok-tembok setinggi empat meter. Di sebelah barat tugu batik, masih di antara gang-gang sempit itu, kerap kali tercium bau gurih ketan dan harum pisang bakar. 

ledre yang sudah matang berbentuk setengah lingkaran dengan
warna kecoklatan ketan dan harum pisang yang kuat.
Adalah penganan khas yang sejak dulu beriringan dengan serabi sebagai salah satu makanan priyayi zaman dahulu, ledre.
Sri Martini, perempuan berusia 72 tahun ini sudah sejak 1984 membuat ledre. Hari demi hari, tangannya dengan terampil mengubah ketan dan pisang menjadi sebuah penganan khas yang diminati semua kalangan, sebagai teman minum teh di beranda rumah hingga untuk sajian para tamu negara di hotal berbintang.   

Ledre yang ada di Laweyan ini sudah mengalami perubahan terkait proses memasaknya. Ledre zaman dahulu adalah ketan mentah yang dipanggang di atas wajan dan ditambahkan santan. Ketan itu ditunggu sampai matang dan tak lupa di atasnya diberi pisang sebagai topping. Sedangkan ledre Laweyan, sudah menggunakan ketan matang demi mempercepat waktu pembuatan. Diakui Sri Martini, rasanya lebih enak menggunakan ketan yang sudah masak. 

ketan yang sudah matang, dipanggan di atas wajan dan ditekan
tekan agar teksturnya menyatu
Gurih ketan dan kelapa yang dipanggang ditambah harum pisang raja menyeruak ketika ketan sudah mulai berwarna kecoklatan dan pisang di atasnya mulai kering, itu pertanda ledre sudah matang. Tangan keriput Sri Martini kemudian dengan cekatan melipat ledre menjadi dua dan menaruhnya di atas potongan daun pisang, biar harum katanya. Dengan proses memasak tanpa minyak dan meski tanpa pengawet, ledre ini bisa bertahan dua hari. Meski tentu saja, cita rasa paling lezat begitu ledre diangkat dari wajan, hangat dan harumnya akan memanjakan indra pengecap. 


Gurih adalah rasa pertama yang akan menyapa lidah, lalu disusul dengan rasa manis yang berasal dari pisang. Keunikan lain selain cara pembuatannya adalah dari bahannya. Rasa manis diciptakan bukan dari gula, melainkan dari pisang raja yang sudah sangat matang. Selain rasa asli dari ledre, gurih ketan dan manis pisang raja, Sri Martini mengkreasikan ledrenya dengan menambahkan coklat dan keju sebagai cita rasa alternatif. Dengan tambahan coklat dan keju, ledre bisa beradaptasi dengan keinginan konsumen yang kian berkembang. Cukup dengan tambahan lima ratus rupiah, maka cita rasa ledre dengan sentuhan modern bisa dinikmati.
pisang matang dihancurkan kemudian ditambahkan ke atas
ketan yang menimbulkan kombinasi gurih manis yang alami

Proses pembuatan ledre cukup singkat, hanya satu hingga tiga menit. Akan tetapi, karena ledre dibuat satu per satu dan banyaknya pesanan, sering kali memaksa para pembeli yang datang ke rumah Sri Martini di Kampung Sentono Rt 2 Rw 2, Kampoeng Batik Laweyan, Solo harus bersabar mengantre. “Karena pesanan banyak, kalau tidak mau mengantre mending bisa pesan dahulu lewat telepon, mau ledre berapa, rasa apa saja, dan diambil kapan,” jelas Sri Martini. 

Dimulai sejak jam tiga pagi, tangan Sri Martini sudah sibuk di atas wajan kecil, biasanya untuk memenuhi pasanan dari hotel atau kantor-kantor. Sejak 30 tahun lalu, ledre juga yang menjadi penyokong ekonomi keluarga ini. Dengan ledre pula, Sri Martini bisa menyarjanakan keempat anaknya. Sejak harganya Rp400 hingga kini Rp2.000 per biji, ledre menjadi andalan keluarga ini. Gurih harum ledre niscaya akan tetap ada di gang sempit di salah satu pojok kampung batik Laweyan. Ledre Laweyan akan terus diwariskan Sri Martini kepada keempat anaknya yang kini juga berjualan ledre. Ledre, sajian sederhana ini akan tetap bisa ditemukan sebagai teman teh di meja santai, kapan pun itu.

2 comments:

  1. Wah, jarang-jarang nih ada yang mengulas Ledre Laweyan. Keren, Kak! Kebetulan saya pernah mampir kesana, menikmati ledre hangat, sekaligus ngobrol-ngobrol santai dengan Bu Sri. Membaca tulisan ini, seperti nostalgia .. :)

    ReplyDelete
  2. Dengan ledre ini pula, Bu Sri berhasil mengantar anak-anaknya menapak kesuksesan. Nice article :D

    ReplyDelete

back to top
back to bottom