10.03.2012

Buaya itu Berwarna Merah Biru

Kampung Surabanglus geger dengan tangkapan Sulam, pencari ikan miskin yang sehari-hari njala  di Sungai Ireng.  Sebuah sungai lumayan besar yang memisahkan kampung Surabanglus dengan kampung seberang.  Sulam, sore itu membawa pulang seekor buaya, bukan buaya biasa. Buaya itu memang hanya berukuran 2 meter, tetapi warna kulitnya yang membuat warga sekampung terheran-heran.  Buaya itu tak berkulit coklat layaknya buaya biasa, tidak pula hijau karena lumut, buaya itu berwarna merah dan biru.  Malam itu diadakan pertemuan seluruh warga kampung di kelurahan.
 

“Itu pasti ulah Sulam sendiri yang mewarnai buaya itu untuk dijadikan hewan sirkus,” celetuk Kades kami yang baru terpilih sebulan lalu, meredam keriuhan di kelurahan tempat buaya itu menjadi tontonan warga sekampung.
“Tapi sulam kan gemblung pak kades? Mana mungkin ia berbuat seperti itu”  teriak salah seorang warga yang ada di kerumunan. 
“Iya pak Kades itu tidak mungkin, saya tadi lihat dengan mata kepala saya sendiri Sulam mengangkat buaya itu dari sungai”  timpal Karso, pencari batu di Sungai Ireng,  yang membuat mulut Pak Kades terdiam. 
“Itu adalah penunggu desa yang marah karena kita sudah lama tidak memberikan sesembahan untuk para leluhur, leluhur menjelma menjadi buaya ini untuk memperingatkan kita, jangan sampai kampung kita terkena bencana.”  Seru Mbah Jono, paranormal kampung Surabanglus lantang. 
“Jangan terpengaruh dengan hal mistik seperti itu saudaraku sekalian!”  sergah Kiai Habib, pimpinan ponpes di kampung Surabanglus. 
“Buaya ini adalah pertanda jaman akhir sudah dekat dengan munculnya binatang- binatang yang tak lazim macam ini,”  lanjutnya. 
“Atau itu jelmaan dajjal kiai!” teriak salah satu santri Kiai Habib.
“Bakaar ...bakarrr...”  seru warga terpengaruh.
Sementara itu buaya itu hanya bisa mengibas ibaskan ekornya, mungkin ia sudah merasa ajalnya sudah dekat.  Sulam kemudian mendekati buaya tangkapannya dan mengelus-elus kepala buaya, yang ajaibnya itu membuat buaya itu tenang kembali. 
“Buaya itu terkontaminasi limbah pabrik seberang saudaraku sekampung.”  terang Badri, seorang mantri guru.  Seberang kali adalah pabrik pabrik tekstil, Sungai Ireng telah menjadi tempat pembuangan limbah dari pabrik-pabrik itu.

“Buaya itu pasti mati jika terkena limbah.”  bantah Kusno, salah satu centeng penjaga pabrik tekstil yang ikut nimbrung di kelurahan malam itu. 
“Kuasa Tuhan yang menetukan buaya itu tetap hidup Kusno, buktinya tangkapan ikan di Sungai Ireng tak sebanyak dulu lagi, sawah-sawah yang dialiri air dari Sungai Ireng pun banyak yang gabuk.”  jelas Badri.  Ini karunia dari Tuhan untuk memperingatkan kampung kita sebelum limbah itu lebih mencemari Sungai Ireng, lanjutnya. 
“Jangan sembarangan pak kalau ngomong, bisa panjang urusannya dengan pabrik.” cetus Kusno.
“Sudah, kalian jangan bertengkar dan memperumit masalah ini.”  lerai Kades baru. 
 Buaya ini biarlah disini, besok pagi kita bawa ke kota, Pak Kades memutuskan.  Biar orang kota yang mencari tahu tentang hal ini.  Warga bubar dengan penasaran yang masih menggelayuti pikiran tiap orang yang hadir. 

Keesokan harinya, datang truk dari kota membawa buaya aneh tersebut ke kota, namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, truk itu terguling di tebing sungai ireng.  Buaya itu hilang kembali ke alamnya di Sungai Ireng.  Sungai Ireng banjir sore harinya, kampung Surabanglus dan pabrik pabrik hilang tersapu banjir. 

Tak seorang pun selamat, hanya bangunan masjid pesantren yang menjadi saksi, dahulu memang pernah ada kehidupan.  Tak pernah ada orang yang bisa menjelaskan kenapa ada masjid tua di seberang sungai ireng, yang kini airnya selalu jernih, sampai aku mendengar cerita ini dari seseorang gembel di pasar, ia bernama Sulam.   


No comments:

Post a Comment

back to top
back to bottom