9.30.2012

nyanyian seorang bisu, sebuah pembuka

Pramoedya Ananta Toer
Memang ada saja yang sakit hati bila dikatakan: setiap orang adalah keturunan petani. Belum tentu yang sakit hati itu keturunan nomad, pemburu, atau penggembala domba, boleh jadi memang tidak lain adalah keturunan petani.

Masyarakat petani satu langkah lebih maju daripada masyarakat nomad. Bidal, pepatah-rumus kebijaksanaan masyarakat kuno- dituangkan dalam kata-kata yang berhubungan dengan pertanian. Itulah kebijaksanaan petani. Pantun pun pada mulanya, kata seorang Barat pengenal pantun, adalah bahasa daun.
Dan di musim Centu pernah kulihat contoh-contoh dedaunan, dalam kombinasi atau tidak, yang oelh sementara bangsa minoritas di masa lewat untuk memberi alamat atau surat diantara mereka sendiri.
Bidal, pantun dari masyarakat petani kuno ini ternyata tetap abadi dalam segala jaman sampai kini. Pada suatu masa Agkatan Pujangga Baru dan 45 sudah terlalu muak terhadapnya. Kemuakan yang tak terjawab, hanya karena soal selera belaka. Hanya karena telah terasa aus dan tidak menghayati. Tetapi itu tidak berarti kebijaksanaan dalam bidal atau pantun, pepatah atau petitih, lantas jadi musnah. Generasi-generasi bisa berdatangan dan bepergian, mereka tetap berisi kebijakan kuno yang lestari.
Orang Belanda punya pepatah : de appel valt niet ver van de stam. Atau Jerman : Der apfel fallt nicht weit von dem stamm. Buah apel jatuh tak jauh dari pokoknya. Juga jawa punya kesamaannya, Kacang ora ninggalake lanjarane-kacang tidak meninggalkan kayu rambatannya. Artinya: anak tak akan jauh dari orangtuanya. Rumus kebijaksanaan petani tentang hukum warisan sebelum Mendel dilahirkan, sebelum diketahui tentang rahasia kromosom dan sebangsanya, rahasia darah.
Untuk waktu yang sangat, sangat lama, darah tetap menjadi masalah mistis bagi masyarakat bagi bangsa-bangsa primitif, cukup diterangkan melalui buah apel atau kacang. Dalam apel dan kacang juga diterangkan tentang garis hubungan generasi yang satu dengan yang lain-suatu jajaran mata rantai yang kait-mengait tak habis- habisnya, juga dengan hukum warisan yang berkait-kaitan. Lebih manusiawi dari itu adalah juga: kebudayaan, peradaban, tradisi. Maka setiap orang, sekiranya tidak mandul atau tidak punah sebelum dewasa, akan menduduki tempatnya sebagai mata rantai, penghubung manusia awal dan manusia akhir. Kaitan antara satu mata dengan yang lain memang bersifat biologis semata. Tetapi kaitan manusiawinya mengandung rahasia mistis yang tak habis-habis diterangkan, dan setiap kali menantang akal, perasaan, dan pikiran manusia untuk menjawabnya, melahirkan ilmu dan filsafat, juga tidak ada habis-habisnya.

No comments:

Post a Comment

back to top
back to bottom