9.20.2012

Mereka Bebas untuk Menggunakan Sarung atau Mukena…





Di mulut gang Kampung Notoyudan, Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen, Daerah Istimewa Yogyakarta ada sebuah rumah sederhana merangkap sebuah salon.  Di atas pintu ada sebuah plakat dengan tulisan yang cukup unik, Pondok Pesantren Khusus Waria Senin- Kamis.

Suasana rumah saat siang hari sepi, namun itu akan berubah ketika sore menjelang, di bulan Ramadan ini setiap sore akan nampak beberapa puluh orang waria mulai berdatangan.  Akan terdengar lantunan shalawat nabi menggema di ruangan 3x4 meter tempat mereka biasa mengaji.


Ketika adzan magrib berkumandang segera mereka menyerbu makanan kecil untuk pembuka puasa mereka, yang kemudian di lanjutkan dengan shalat magrib berjamaah.  Mereka bebas untuk menggunakan sarung atau mukena.  Dari sekitar 25 santri, nampak puluhan santri mengenakan sarung dan lima santri menggunakan mukena. Kadang kalau tidak ada ustad, salah satu dari mereka ada jadi imam.

Itulah sedikit gambaran yang ada di sore hari dibulan Ramadan di pesantren yang hanya ada di Yogyakarta ini. “ Pesantren yang ada sejak 2008 ini sudah ada sekitar 25 anggota, yang kesemuanya waria. Kegiatan pondok pesantren mulai dari pengajian, salat berjamaah, belajar membaca Alquran, atau tukar pikiran yang diadakan setiap Minggu sore.”  jelas Maryani, pendiri pondok pesantren tersebut.

Maryani menuturkan, dulu ia mendirikan pesantren ini karena mengikuti pengajian di pondok pesantren yang berada di Jalan Godean asuhan Kiai Hamroli Harun.

"Dari 3.000 jamaah di sana, saya satu-satunya waria. Dalam pikiran saya jika saya dapat diterima oleh masyarakat, pasti teman yang lain juga dapat diterima.”  tuturnya.

Kemudian waktu ada gempa Jogja ia mengumpulkan teman-teman warianya untuk mengadakan doa bersama, dari situlah ia mulai mengajak teman-temannya untuk belajar agama bersama di rumahnya, yang akhirnya menjadi pondok pesantren sampai sekarang.

“Waria ini kan juga manusia dan perlu beribadah oleh karena itu saya dulu dengan Kyai membuka pesantren khusus untuk waria, kalau di pesantren lain kan tidak boleh waria berada di sana. Sampai sekarang ini pesantren satu-satunya yang ada di Indonesia, mungkin juga di dunia." tutur Maryani yang sudah pergi ke berbagai negara karena pesantrennya ini.

Pondok pesantren ini berusaha mewujudkan kehidupan waria yang bertakwa kepada Allah SWT dan bertanggung jawab terhadap diri dan keluarga, serta komunitas, masyarakat, dan negara. Waria yang nyantri berasal dari berbagai profesi, ada pengamen, pegawai salon dan masih ada pula waria yang masih menggeluti kehidupan malam . Mereka berasal dari berbagai daerah, diantaranya Malang, Surabaya, Palembang, Medan, Bengkulu dan Yogyakarta sendiri.

Maryani mengaku untuk membiayai kegiatan pondoknya ia menggunakan uang pribadi.  Ia menggunakan uang hasil dari salon miliknya yang letaknya menjadi satu dengan pondok.  “Kalau dari kunjungan-kunjungan dari orang-orang yang pernah kesini pernah ada yang mau memberi bantuan, tetapi sampai saat ini ya belum ada.”  aku Maryani.  Ia berprinsip selalu ada rizki dari yang Maha Kuasa, jadi tidak perlu khawatir terhadap rezki yang akan diperoleh.

Selain kegiatan rutin harian , pondok ini juga punya kegiatan tiap tahun seperti ziarah ke makam sesama waria dan ziarah ke makam-makam kyai.   “Saya ajak kawan-kawan berziarah ke makam waria yang sudah meninggal. Ada yang meninggal terserempet kereta waktu bekerja, ada yang sakit, dan lainnya.  Rata-rata tak pernah didoakan keluarganya, bahkan ada lho mas yang ngurusi jenazahnya aja gak mau, ya sudah akhirnya saya bawa ke sini, dan saya akhirnya yang mengurus itu semua.”  jelas Maryani

Maryani menuturkan, ziarah itu selain untuk mendoakan teman- teman juga untuk jadi pengingat, kita juga entah kapan pasti mati.  Dari situlah banyak kawan –kawan yang muncul kesadarannya untuk dekat dengan Allah.  “Yang berhak menentukan ibadah kita diterima atau tidak itu Alllah, bukan manusia, jadi kita juga berhak untuk beribadah kepada-Nya.”  pungkasnya.



No comments:

Post a Comment

back to top
back to bottom