9.20.2012

Penjual Punggung Beringharjo

Mentari belum nampak sepenuhnya, hanya berkas-berkas cahaya hangatnya sudah
menerpa tubuh perempuan-perempuan di emperan beringharjo ketika derum truk
pengangkut sayur itu mulai mengisi kesunyian pagi di pasar ini.  Suatu

tanda truk pengangkut sayur sudah berdatangan.  Dengan sigap mereka mulai
berlarian menuju truk sambil membetulkan selendang mereka yang terurai
panjang.  Dinginnya fajar  masih terasa ketika mereka sudah harus berjuang
mendapatkan beberapa rupiah penyambung hidup.  Teriakan dari mandor di atas
truk layaknya penyemangat bagi mereka untuk segera menghampiri truk dan
menunaikan kerja mereka, buruh gendong sayur. 

Waginah, rambut yang putih dan gigi yang tak lengkap lagi adalah tanda yang
tak bisa dipungkiri
lagi ia sudah berusia lanjut.  Waginah adalah satu di
antara puluhan orang yang tergabung dalam komunitas buruh pengangkut
sayur.  Usianya yang tak muda lagi tak membuatnya berhenti dari aktivitas
yang cukup menguras tenaga ini.  Tiap hari ia bersama anaknya, yang juga
buruh pengangkut sayur, ikut larut keluar masuk pasar dengan karung di
punggungnya.

Dari truk pengangkut sayur ia harus berjalan dengan beban di punggungnya. 
Beratnya kurang lebih 30an kilogram tiap karung.  Perjalanan mbah waginah
tak jauh, hanya 200 meter sayuran itu harus ia antar.  Letak loss sayur di
lantai dua tak menghalangi langkah mbah waginah untuk bergegas menggendong
karung sayur di punggungnya.  Beberapa puluh anak tangga sudah jadi sahabat
perempuan berusia 80 tahun ini selama bertahun-tahun.  Aktivitas ini tak
berhenti dalam hitungan jari,ia harus puluhan kali bolak balik menaklukan
beban di punggung tuanya. 

Sesekali makanan kecil ala kadarnya menyelingi kegiatan mereka, ditemani
beberapa teguk air teh untuk sekadar mengisi tenaga mereka yang tercurah. 
Mereka tak terlena, mereka harus segera kembali mengangkut sayur-sayur yang
masih menumpuk di bak truk. 

Kegiatan ini akan terus berlangsung dari pagi hingga sore, ketika ada sayur
yang harus di angkut, mereka harus berjuang lagi untuk mengantarkan sayur
kepada pedagang sayur di atas.  Beberapa lembar rupiah dari tiap mandor di
tiap truk yang berbeda akan menghapus keringat dan lelah mereka,
memunculkan seulas senyum yang menghiasi raut muka mereka.

Mentari sudah condong ke barat, waktunya mereka menyantap menu sederhana. 
Makanan yang mereka beli di sekitar pasar pula yang menemani saat-saat
makan siang mereka dari waktu ke waktu.  Nasi, sayur,dan beberapa potong
tahu atau tempe yang mengisi perut mereka siang itu.  Cukuplah untuk asupan
nutrisi bagi otot-otot mereka yang berkerja keras setengah hari tadi. 
Dorongan air teh yang membantu wanita-wanita perkasa ini segera
menghabiskan menu siang itu, mengingatkan kembali berharganya waktu bagi
mereka.  Jangan bayangkan mereka akan duduk bersantai menikmati rasa
kenyang dalam perut, mereka harus segera kembali mengangkut sayur sayur.

Beban berat di punggung mereka akan semakin berat dengan panasnya mentari. 
Peluh menetes tanpa henti dari dahi mereka.  Ujung selendang jadi solusi
penghilang peluh yang mulai mengganggu.  Belum lagi pengunjung pasar yang
menyemut, kadang jadi penghalang langkah mereka yang terburu beban di
punggung mereka.  Mereka harus pandai menyelinap diantara padatnya
pengunjung pasar, sesekali mulut mereka mengisyaratkan nada-nada untuk
“mengusir” penghunjung dari jalan mereka.  Kebanyakan dari mereka akan
menyingkir, tapi tak jarang pula tatapan tajam bahkan umpatan dari
pengunjung pasar mereka dapatkan. 

Kerinduan terhadap suami dan cucunyalah yang mendorong ia untuk pulang ke
kulon progo.  Sang suami adalah petani sderhana yang tinggal bersama anak
dan cucunya.  Satu hari berkumpul dengan orang-orang terksih belumlah cukup
untuk melepas kerinduan yang menumpuk dalam dada mbah waginah, tapi ia
masih berkeras hati untuk segera kembali ke beringharjo, mengumpulkan lagi
beberapa lembar rupiah.  Ia mau mandiri di usia senjanya, ia tak mau
merepotkan anaknya, walaupun hanya untuk membeli sirih, mbah waginah mau
beli dari uang hasil keringatnya sendiri.  Sebuah contoh semangat yang
patut di contoh di tengah jaman yang penuh kenyamanan ini.  Ia tak mau
menyerah pada usia, keteguhan hatinya ,mendorongnya untuk terus bekerja



Senja mulai menjelang saat denyut beringharjo mulai berkurang, truk truk
sayur sudah tak lagi berhenti di depan pasar.  Satu pertanda bagi mbah
waginah dan kawan-kawan untuk  segera keluar dari Beringharjo dan
mengistirahatkan badan yang letih.  Meraka harus pulang ke tempat mereka
biasa beristirahat, bukan losmen, wisma apalagi hotel, emperan tokolah
tempat mereka merajut mimpi di malam hari sebelum berjuang kembali di kala
subuh menjelang.

No comments:

Post a Comment

back to top
back to bottom