9.27.2012

Tentang Daun

Kala henpon dan surat belum menyebar di muka bumi, orang-orang di generasi nenek-moyang dahulu tak kalah akal untuk bisa mencurahkan isi hati yang tersembunyi. Belum adanya tekhnologi yang memperpanjang indra kita, mereka pun menggunakan daun sebagai medium bertukar pesan. Lewat dedaunan malah mungkin lebih asyik.


bahkan seorang  gurubesar bahasa Melayu di Universitas Leiden , Ch. A. van Ophuijsen meneliti tentang hal itu. Di zamannya, Menurut Ophuijsen, dalam masyarakat Batak Mandailing, terdapat kebiasaan orang yang menjalin cinta menggunakan daun-daun dalam bertukar-pesan. Daun menjadi medium surat-menyurat mereka. Tapi bukan cuma itu. Lebih dari sekadar medium penyampai pesan, daun juga menjadi pesan itu sendiri. Sebagai contoh ambillah daun setanggis. Daun itu mengandung asosiasi bunyi (dan selanjutnya arti) tangis. Maka daun itu juga dipergunakan untuk menyampaikan pesan yang berkaitan dengan kesedihan. Begitu juga dengan pahu, yang mengandung asosiasi bunyi au (saya). Ia juga dipergunakan sebagai perlambang au. (saya).

Ophuijsen mengatakan bahasa daun ini lah yang jadi asal-usul ende-ende, yakni semacam pantun dalam tradisi Mandailing. Ia mengatakan begitu karena dalam ende-ende banyak ditemukan nama-nama daun dan tanaman dalam dua baris pertama-nya, untuk kemudian dilanjutkan oleh isi pesan di dua baris berikutnya. Ophuijsen selanjutnya berteori bahwa bahasa daun ini lah asal-mula pantun, sebuah teori yang mendapat bantahan dari beberapa pakar lain.

Kebiasaan menggunakan suatu benda sebagai medium sekaligus isi pesan juga ditemukan dalam budaya lain. Misalnya dalam tradisi Melayu. Setelah beberapa hari menikah, seorang pria Melayu biasanya akan memberi ikan belanak kepada sang istri. Pemberian itu adalah perlambang pesan agar sang istri cepat-cepat mengandung, untuk kemudian beranak (sangat mirip dengan kata belanak). Ikan belanak biasanya anaknya banyak. Agak bermiripan dalam adat Batak. Kepada pihak perempuan (boru), sajian yang lazim adalah ikan mas. Ikan mas juga terkenal subur dalam soal bertelur.

kemudain bisa dihubungkan dengan Marshall McLuhan, yang pada tahun 1967 menerbitkan buku yang kemudian jadi klasik: The Medium is the Message: An Inventory Effect. Salah satu inti dari buku yang pada edisi awalnya mengandung salah cetak (sehingga terbit dengan judul: The Medium is the Massage, yang oleh kebanyakan orang ditafsirkan sebagai: The Medium is the Mass-Age), berkata bahwa medium yang dominan dalam berkomunikasi selalu mempengaruhi cara manusia berfikir, bertindak dan menerima (menempatkan) dunia di sekitar mereka. Oleh karena itu (teknologi) media tak lagi sekadar pengantar atau perantara pesan. Ia sudah menjadi pesan itu sendiri. Mirip-mirip dengan daun di ende-ende Mandailing tadi. Daun tak sekadar pengantar pesan, tapi daun itu sendiri juga adalah pesan yang disampaikan.

No comments:

Post a Comment

back to top
back to bottom